
Laporan *Indonesia Boating Gathering (IBG) 2025: Talkshow Series* yang telah dilaksanakan pada:
๐: Jumat, 21 Februari 2025
๐: 15.00 – 16.30 WIB
๐: Jiexpo Kemayoran
*Pembicara:*
1. Ibu Rizki Handayani Mustafa โ Deputi Bidang Industri dan Investasi
2. Bapak Roland Permana โ Head of Cruise Division, Indonesian National Shipowners’ Association (INSA)
3. Bapak Adhi Nursetyo โ Operational Director, MDA Insurance
4. Ibu Ruth Rutyasi Pilemon โ President Director, Wisata Biru
*Moderator:*
Bapak Krisnan (Nino) Kusumaatmadja, Sekjen CMSI
*Pembahasan:*
1. Kegiatan Indonesia Boating Gathering (IBG) 2025: Talkshow Series diselenggarakan dengan mengangkat tema Policies and Business Opportunities in Indonesia Marine Tourism. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peluang serta tantangan dalam pengembangan pariwisata bahari di Indonesia, sekaligus menggali masukan dari para pemangku kepentingan dan pelaku industri terkait.
2. Deputi Bidang Industri dan Investasi menyampaikan bahwa dalam Asta Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025โ2029, ekonomi biru (blue economy) menjadi salah satu prioritas nasional yang harus terus dikembangkan. Pada tahun 2029, Indonesia menargetkan Blue Economy Index mencapai 35,92, di mana sektor pariwisata, khususnya pariwisata bahari, menjadi salah satu unsur pendukung utama dalam pencapaian target tersebut.
3. Melihat potensi besar yang dimiliki oleh sektor pariwisata bahari, pemerintah memandang penting untuk mendapatkan insight dari para pelaku usaha. Masukan tersebut diharapkan dapat mendukung pengembangan industri pariwisata bahari yang lebih baik, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
4. Penyampaian Asosiasi Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (INSA) INSA menyampaikan bahwa pihaknya menaungi lebih dari 1.700 perusahaan pelayaran yang tersebar di 52 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di seluruh Indonesia, mencakup 20 bidang usaha, termasuk bidang kapal wisata dan kapal pesiar (cruise). INSA meyakini bahwa sektor pariwisata bahari masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Namun, terdapat beberapa tantangan yang perlu segera diatasi, di antaranya:
a. Jumlah Perusahaan Kapal Phinisi Lokal Masih Terbatas: Saat ini, jumlah perusahaan yang bergerak di bisnis kapal phinisi lokal masih relatif sedikit. Hal ini menghambat pengembangan industri pariwisata bahari di Indonesia.
b. Dominasi Wisatawan Asing: Segmentasi wisatawan kapal wisata masih didominasi oleh wisatawan mancanegara sebesar 70%, sementara wisatawan domestik hanya mencapai 30%. Ketimpangan ini menunjukkan perlunya strategi promosi yang lebih kuat untuk menarik minat wisatawan lokal.
c. Ketidakjelasan Regulasi: Kapal wisata hingga kini masih dikategorikan sebagai kapal penumpang niaga. Akibatnya, kapal wisata harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif yang sama dengan kapal niaga, meskipun fungsinya berbeda. Contohnya untuk kapal wisata diperlukan syarat minimal memiliki ahli nautika II, yang setara dengan kapal penumpang. Hal ini dinilai memberatkan para pelaku usaha di sektor pariwisata bahari.
d. Keterbatasan Infrastruktur: Fasilitas tambat kapal, marina, dan tempat perawatan kapal masih minim. Akibatnya, perusahaan asuransi enggan memberikan jaminan bagi kapal wisata, mengingat keterbatasan tempat parkir yang memadai dan risiko operasional yang tinggi.
e. Kemudahan untuk Kapal Berbendera Asing: Kapal berbendera asing dinilai mendapatkan kemudahan yang lebih besar dalam beroperasi di perairan Indonesia dibandingkan kapal lokal. Hal ini memicu ketimpangan daya saing di antara pelaku usaha domestik.
f. Minimnya Marina: Jumlah marina di Indonesia yang masih terbatas menyebabkan kapal wisata harus menunggu hingga 1,5 tahun untuk mendapatkan slot sandar di dermaga. Kondisi ini menghambat arus wisatawan bahari yang ingin berkunjung ke destinasi wisata di Indonesia.
5. Ibu Ruth dari Wisata Biru menyampaikan bahwa pengembangan sektor pariwisata bahari di Indonesia masih berjalan lambat. Beberapa isu yang menjadi perhatian adalah:
a. Kendala Regulasi: Kebijakan yang ada masih belum memadai bagi pelaku industri wisata bahari. Salah satu contoh adalah ketentuan yang tidak memperbolehkan pergantian kapten dan kru kapal selama perjalanan. Selain itu, kru kapal masih dikategorikan sebagai pekerja kapal niaga, sehingga tidak dapat memanfaatkan fasilitas visa on arrival yang seharusnya mempermudah operasional kapal wisata.
b. Keterbatasan Infrastruktur: Infrastruktur pendukung, seperti dermaga yang layak, fasilitas tambat kapal, serta fasilitas marina masih belum memadai. Hal ini menyulitkan operasional kapal wisata yang melakukan perjalanan jarak jauh.
c. Ketidaksiapan Petugas dan Masyarakat : Masih ditemukan ketidaksiapan petugas dan masyarakat dalam menerima kunjungan wisatawan, yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi peraturan terkait pariwisata bahari. Di beberapa lokasi, masih ditemukan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan kepada pelaku perjalanan kapal. Hal ini tentu berdampak negatif terhadap citra pariwisata Indonesia di mata wisatawan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang seragam dari pemerintah pusat guna memudahkan pelaku industri dalam menjalankan usahanya.
6. MDA Insurance juga mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang memengaruhi sektor asuransi kapal wisata, di antaranya:
a. Keterbatasan Pelaku Usaha Asuransi Kapal Wisata: Hanya sedikit perusahaan asuransi yang bersedia menjamin kapal wisata. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran terhadap bahan baku kapal yang umumnya terbuat dari kayu dan serat (fiber), yang dianggap lebih rentan terhadap kerusakan.
b. Risiko Kecelakaan Kapal: Risiko kecelakaan kapal yang paling umum meliputi kebakaran dan kapal yang terseret ombak. Kebakaran sering kali dipicu oleh kebiasaan merokok di atas kapal, sementara serat dan kayu sebagai bahan dasar pembuatan kapal memperbesar potensi kerusakan.
c. Keterbatasan Galangan Kapal: Risiko tenggelamnya kapal juga dipengaruhi oleh minimnya galangan kapal yang sesuai standar. Kapal yang tidak dibangun sesuai desain yang telah dirancang berpotensi mengalami kerusakan struktural, yang pada akhirnya meningkatkan risiko kecelakaan.
d. Rendahnya Kesadaran Pelaku Usaha: Kesadaran pelaku usaha terkait pentingnya asuransi masih tergolong rendah. Faktor ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan serta skala usaha yang dijalankan.
e. Pemalsuan Data: Masih ditemukan pemalsuan data terkait operator kapal yang berbeda dengan pemilik kapal dan pemilik izin pelayaran. Praktik ini tidak hanya melanggar regulasi, tetapi juga menyulitkan perusahaan asuransi dalam memberikan perlindungan.
f. Zona Nyaman Stakeholder: Baik pemerintah maupun pelaku usaha dinilai masih berada dalam zona nyaman (comfort zone), sehingga kurang tertarik untuk mengembangkan sektor baru seperti sektor kapal wisata sebagai potensi ekonomi kedepannya.
7. Beberapa masukan yang disampaikan oleh audiens dalam diskusi ini meliputi:
a. Pembentukan Asosiasi Pembuat Kapal: Diperlukan pembentukan Boat Builder Association yang dapat mendukung para pembuat kapal dalam menjalankan usaha dalam waktu yang pajang. Asosiasi ini diharapkan mampu menjadi wadah bagi pelaku untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk kapal lokal serta dapat memperoleh perhatian pemerintah secara berkelanjutan.
b. Komite Nasional Pariwisata Bahari: Mengingat permasalahan di sektor pariwisata bahari melibatkan lintas kementerian dan di DPR lintas komisi, diusulkan pembentukan Komite Nasional Pariwisata Bahari. Komite ini bertujuan untuk mengoordinasikan kebijakan secara terintegrasi, sehingga mendukung pertumbuhan industri pariwisata bahari yang lebih baik.
Demikian disampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih ๐๐ป